Kisah Cinta Tak Sejalan Dalam Film Mendung Tanpo Udan
Film Mendung Tanpo Udan angkat isu lokal seniman di Jogja pada umumnya. Film komedi romantis ini membahas problem remaja terkait pencarian jati diri, rasa sepi, interaksi persahabatan, sampai kisah cinta sejati. Uniknya, dialog dalam film didominasi bahasa Jawa sebagai bukti keragaman film yang pakai latar Jogja dan Jakarta.
Udan (Erick Estrada) adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang sangat terobsesi dengan musik. Obsesi ini tanpa disadari membuat Udan jadi pribadi yang idealis dan keras kepala. Hingga suatu hari, Udan bertemu dan jatuh hati dengan Mendung (Yunita Siregar), seorang perempuan cerdas yang memiliki impian jadi seorang wanita karir yang independen. Hubungan dua insan yang memiliki impian bertolak belakang ini, perlahan melahirkan konflik yang memaksa mereka untuk memilih antara cinta dan karir.
Ku pikir jarak hanya sementara dan cinta kita yang selamanya.
Ternyata, jarak menghilangkan rasa dan menghadirkan orang ketiga. Kamu bilang dia rekan, padahal dia udah bikin kamu nyaman. Aku yang jauh cuma bisa berharap kalian gak tiba-tiba kirim undangan.
Walau ada dialog dalam bahasa Jawa, para pemeran yang bukan berasal dari etnis Jawa masih pas melontarkan dialognya. Entah mereka masih ada keturunan Jawa atau memang sengaja belajar sebelum masuk ke dalam peran yang bakal dimainkan. Namun hal ini cukup menarik perhatian apalagi sebelum film Mendung Tanpo Udan tayang, Erick Estrada sempat dibully netizen karena dianggap tak layak jadi peran utama dalam film komedi lokal ini.
Sederet pemain pendatang baru memang hadir dalam film bergenre drama komedi ini. Erick Estrada dan Yunita Siregar didapuk sebagai pasangan pemeran utama. Hubungan mereka didukung karakter sahabat-sahabatnya seperti Kery Astina (Awan), Aulia Deas (Petri), Tommy Lim (Kartolo), dan Wavi Jihan (Lita). Tak hanya itu, cameo aktor ganteng juga ditampilkan untuk buat kisah cinta makin memanas yaitu Marcell Darwin (Will)
Kualitas musik yang disuguhkan music director P. J. Gendhing berupaya menampilkan irama yang jernih. Penonton diajak mengikuti kisah dibalik layar dari lagu yang pernah viral beberapa tahun silam. Lagu tersebut tak lepas dari peran pencipta lagu yang bernama Kukuh Prasetya Kudamai. Entah film ini memang kisah dari penciptanya tersebut atau hanya sebagai behind the song saja. Cuma harus diakui lebih asyik dengar lagu yang dibawakan Ndarboy Genk dan Denny Caknan dibanding harus nonton filmnya.
Digarap oleh sutradara Kris Budiman, Mendung Tanpo Udan sulit mengungkap naskah atau rahasia apa yang terkandung dalam lagu berbahasa Jawa tersebut. Tontonan di layar lebar pun hanya cukup digarap menghibur tanpa ada kekuatan tersendiri. Mungkin sutradara belum piawai memasukkan unsur-unsur komedi yang kental sehingga eksekusi adegan tak berjalan dengan lancar. Padahal karakter Udan sudah dikembangkan dan berpotensi menuai banyak polemik.
Muhammad Hananto sebagai produser sepertinya tak turun tangan untuk merevisi script yang telah dibuat. Film hanya bertahan pada unsur realistis saja, tak mau mengangkat hal-hal menarik yang sebenarnya terjadi dalam lingkungan pemuda di Jogja. Film Mendung Tanpo Udan pun hanya cukup menghibur tapi sulit dinikmati. Walau tak paham bahasa Jawa, penonton tetap bisa ikuti jalan cerita yang gampang dicerna. Meski unsur komedi juga masih terasa kurang karena penempatan yang tidak mengena adegannya.
