x
Lifestyle

Hak Anak Vs Covid-19

  • PublishedFebruary 27, 2022

Berpegangan pada Undang-undang Perlindungan Anak dan sesuai dengan konvensi anak, bahwa ada 31 hak anak dalam hidupnya, antara lain adalah hak berkumpul, bermain, pendidikan, terbebas dari siksaan fisik dan non fisik.

Hak  bermain, hak berserikat, hak bebas berkumpul menjadi salah satu hak yang harus dimiliki anak dalam masa tumbuh kembangnya. Yang dengan itu segala bentuk pengekangan, membatasi ruang gerak menjadi pelanggaran terhadap undang-undang.

“Bermain memang menjadi dunia anak dan tempat anak mengeksplor sekelilingnya. Dari bermain anak banyak belajar dari lingkungannya. Bertemu dengan teman-temannya menjadi kebutuhan anak dimasa tumbuh kembangnya. Jadi bukan sekedar hak ya, tapi kebutuhan setiap anak,” ungkap Frans Sondang Sitorus, S.Kom., M.A, Ketua LPA Bekasi.

Lebih lanjut Frans yang juga Founder INRII Homeschooling menjelaskan bahwa pembatasan pemenuhan kebutuhan anak memberi dampak buruk bagi prilaku anak. “Anak cendrung stress dan melawan,” Frans memberikan contoh dampak langsung yang terjadi saat anak harus terisolasi dari pergaulannya.

Hampir dua tahun kita berperang melawan virus Covid-19. Berbagai upaya dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus yang merenggut nyawa jutaan manusia di bumi ini. Dari mulai memberlakukan protokol kesehatan ketat, hingga mengadakan vaksinasi massal ke masyarakat.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 adalah membatasi masyarakat untuk berkumpul dan berinteraksi langsung. Ketentuan ini pun berlaku pada anak-anak. Tidak hanya bersosialisasi dan bermain, bahkan belajar pun mereka tidak bisa ke sekolah.

“Kondisi ini membuat anak-anak stress. Mungkin diawal pembelajaran online mereka senang ya, tapi lama-lama mereka bosan dan mulai stress. Belajar online-kan membuat mereka tidak bisa berinteraksi dengan teman-temannya. Bener sih bisa bertemu secara online, tapi tetap saja mereka tidak bisa bermain atau ngobrol langsung sebagai mana sebelum pandemic,” jelas Frans lagi.

Bukan tidak ada komunikasi atau tidak ada interaksi sama sekali sebenarnya. Ada tapi komunikasi langsung tanpa dibatas layar dan jaringan internet memberi dampak berbeda terhadap anak.

“Selama pandemi dan belajar online anak-anak jadi lebih gampang marah. Apa lagi kalau disuruh berhenti main dengan gadget pasti protes. Mau gimana lagi, mereka tidak bisa bermain keluar rumah bersama teman-temannya,” ucap Nova yang memiliki anak laki-laki berusia 9 tahun dan duduk dikelas 3 Sekolah Dasar atau SD di salah satu sekolah di bilangan Tangerang Selatan.

Selain intesitas interaksi anak dengan gadget, perubahan tingkah laku, Nova juga menceritakan kesulitannya mendampingi anaknya belajar online.

“Ga fokus dia. Apa yang gurunya bilang, kayak ga ada yang sampai. Soalnya, gurunya menjelaskan dia asik sendiri, main. Belum lagi dia merasa bosan, sudahlah itu.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Frans tentang murid-murid di homeschooling miliknya.

“Saat ini kami melakukan pembelajaran secara hybrid, secara online dan offline. Anak-anak diwakili orang tuanya diberi pilihan, mau sekolah tatap muka atau online. Yang milih online banyak yang akhirnya meminta kami membujuk orang tuanya agar bisa sekolah tatap muka. Bahkan ada yang nekad datang sendiri ke sekolah cuma sekedar bertemu teman-temannya. Meski dibatasi jarak dan masker.”

Diakui oleh Frans bahwa yang utama itu adalah kesehatan si anak, “yang penting itu kesehatan kan, sehingga penerapan protokol kesehatan itu penting. Kalau ga sehat bagaimana mau main dan bersosialisasikan?” ungkapnya.

Melalui applikasi pesan Yulia Hairina, M.Psi, psikolog pendidikan dari Universitas Islam Negeri Antasari (UIN Antasari) Banjarmasin, Kalimantan Selatan menjelaskan bahwa tingkat kekerasan pada anak dimasa pandemi mengalami peningkatan.  “Terutama saat semua serba online. Sekolah dilakukan secara  work from home, dan pembatasan sosial itu dampak psikologisnya terasa sekali pada anak dan remaja. kenapa? kebutuhan mereka untuk bersosialisasi yang tidak terpenuhi, kemudian tidak adanya kegiatan yang terstruktur seperti di sekolah, bisa membuat anak sulit di atur, dan adiksi pada internet makin meningkat.”

Berkaitan dengan anak kecil, Yulia mengatakan dampak psikologisnya tidak langsung, misal dari orangtua juga. “Orangtuanya stres anak juga ikut stres.”

Lebih lanjut wanita yang bekerja sebagai dosen di kampus tempatnya kuliah dulu ini mengatakan, “kekerasan itu bukan semata-mata kekerasan fisik ya, kekerasan bisa saja yang non fisik atau kekerasan verbal. Seperti membentak atau pun mengeluarkan kata-kata kasar. Nah ini sering tanpa sadar dilakukan orang tua terhadap anaknya. Dan dari penelitian yang saya lakukan, angkanya cendrung naik dibanding sebulum pandemi.”

“Anak menjadi sasaran kekesalan dan rasa stress yang dirasakan orang tua karena harus bekerja dalam kondisi yang tidak semestinya, ditambah orang tua juga harus membantu mengawasi kegiatan belajar online anak-anaknya yang biasanya dilakukan guru-gurunya disekolah. Belum lagi harus menjaga mood si anak agar mau lebih lama mengikuti pembelajaran online. Sementara pembelajaran online sendiri gampang menurunkan mood dan motivasi anak belajar dan masih ditambah kondisi ekonomi yang juga menjadi lebih sulit,” ucap Yulia.

Hal ini sejalan yang dikeluhkan Nova yang tidak sekedar merasakan kesulitan menjaga mood anak semata wayangnya untuk konsentrasi belajar saat jam pembelajara, tapi juga harus menghadapi perekonomian yang menjadi lebih sulit karena tidak bisa leluasa malakukan kegiatan ekonominya sebagai pedagang makanan.

Sementara sebagai pengajar, Frans pun mengungkapkan prilaku sebagian anak didik, “ada yang sambil main games, ada yang ketiduran bahkan ada yang matiin kamera, jadi kita tidak tau apa yang dia lakukan. Hanya waktu dipanggil atau pun ditanya si anak tidak bisa jawab. Ada sih yang enjoy dengan kondisi ini, yah paling 20%-30% lah. Dan mereka adalah anak-anak introvert atau yang mengalami trauma disekolah.”

Hal yang disebutkan diatas merupakan dampak tidak langsung yang dirasakan masyarakat, yang berimbas memicu kekerasan pada anak. Dampak langsung, dilihat dari sisi psikologis pandemi Covid-19 terlihat dari timbulnya rasa takut yang berlebihan pada orang tua yang kemudian menularkan pada anak, kemudian bisa juga berdampak pada perkembangan emosi dan sosialnya.

“Kalau ditanya apakah berdampak pada psikologis anak, tanya deh sama kita, sebagai orang dewasa, ngaruh ngga? anak dan remaja juga rentan terpengaruh karena pandemi berkepanjangan ini. Dampak yang ektrim misalnya ada ketakutan berlebihan yang bisa jadi memunculkan obsesif compulsif disorder atau OCD. ini biasanya dampak pada anak usia akhir. SD kelas 6, SMP bahkah remaja.” Ungkap Yulia lagi.

Obsesif compulsif disorder, atau OCD dalam hal ini adalah obsesi kontaminasi dan dorongan untuk selalu bersih tapi ini ekstrim.

Kemudian, baik Frans mau pun Yulia sepakat kalau kekerasan pada anak memberi dampak tidak baik pada tumbuh kembang anak. Anak bisa jadi menutup diri, tidak percaya diri bahkan mengalami depresi. “Bahkan anak yang dengan riwayat kekerasan verbal ini sangat mungkin untuk menjadi pelaku di masa depan. Ia akan melanjutkan rantai kekerasan itu pada anaknya lagi,” ucap Yulia.

Menutup pernyataannya, Yulia memberikan tips apa sebaiknya yang dilakukan orang tua dan pengajar untuk mengurangi dampak stress pada anak yang ruang geraknya terbatasi saat ini. “Orangtua dan guru adalah mitra. Orangtua bisa melakukan perannya di rumah, antara lain dengan memenuhi kebutuhan anak psikososial, hiburan, kemudian juga menjaga mood anak, yang dibutuhkan anak saat ini saling pengertian, mau mendengarkan dan jadikan momen pandemi ini kesempatan bonding sama anak.”

Written By
indonesianjournal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!