Forum Tingkat Tinggi ILO, Berikut Dampak Teknologi AI Terhadap Pasar Kerja Indonesia
IndonesianJournal.id, Jakarta – Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyelenggarakan Forum Tingkat Tinggi bertajuk “Kecerdasan Buatan dan Implikasinya terhadap Pasar Kerja Indonesia”, pada 20 Juni di Jakarta. Forum ini diawali dengan pidato utama oleh Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengenai peluang kerja di pasar kerja Indonesia dan pidato pembukaan oleh Celeste Drake, Deputi Direktur Jenderal ILO, yang menyoroti beberapa isu utama dan tantangan global.
Dengan mempertemukan para ahli yang beragam secara strategis untuk dialog pertama mengenai kecerdasan buatan dalam konteks kebutuhan, kesiapan dan tata kelola pasar kerja di Indonesia, Forum ILO ini berfungsi untuk merangsang refleksi yang tepat waktu mengenai situasi Indonesia saat ini dan langkah selanjutnya dalam perencanaan dan investasi ketenagakerjaan. Forum ini memberikan arahan awal tentang tujuan yang harus diambil, dan cara terbaik untuk mencapainya guna memanfaatkan keuntungan pasar kerja, tanpa meninggalkan siapa pun. Indonesia merupakan pasar potensial yang terbesar di kawasan ini untuk investasi pengembangan kecerdasan buatan, dengan potensi yang signifkan untuk memacu dan mewujudkan pasar kerja yang lebih adil yang dapat memperoleh manfaat dari kecerdasan buatan, sekaligus memitigasi risiko apa pun.
Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menggarisbawahi komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan masa depan kecerdasan buatan dalam perekonomian Indonesia. “Kami telah meluncurkan Strategi Nasional Pembangunan Ekonomi Digital Indonesia 2030 sebagai negara yang melaksanakan transformasi digital yang membantu meningkatkan lanskap ekonomi, melindungi talenta digital, menciptakan lapangan kerja dan memastikan langkah kita mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),” dia menyatakan.
Studi global ILO, Kecerdasan Buatan Generatif dan Pekerjaan: Analisis global mengenai dampak potensial terhadap kuantitas dan kualitas pekerjaan, mengungkapkan bahwa kecerdasan buatan lebih cenderung menambah bukan menghancurkan pekerjaan dengan mengotomatisasi beberapa tugas dibandingkan mengambil alih suatu peran secara keseluruhan. Karenanya, dampak terbesar dari teknologi ini bukan pada hilangnya lapangan kerja, melainkan potensi perubahan pada kualitas pekerjaan, termasuk intensitas dan otonomi kerja.
Studi ini menemukan bahwa dampak yang potensial dari kecerdasan buatan generatif kemungkinan besar akan berbeda secara signifikan bagi laki-laki dan perempuan, dengan lebih dari dua kali lipat jumlah pekerja perempuan yang berpotensi terkena dampak otomatisasi. Hal ini disebabkan oleh keterwakilan perempuan yang berlebihan dalam pekerjaan administrasi, terutama di negara-negara berpendapatan tinggi dan menengah.
“ILO melakukan investasi yang signifikan dalam memperluas penelitian terdepan kami mengenai kecerdasan buatan. Untuk meningkatkan visibilitas pekerjaan kami dan melibatkan konstituen dan pihak lain, kami akan meluncurkan Observatorium Kecerdasan Buatan dan Pekerjaan dalam Ekonomi Digital yang baru pada awal September,” kata Celeste Drake, Deputi Direktur Jenderal ILO. “Diskusi penetapan standar ILO 2025-2026 mengenai pekerjaan layak dalam ekonomi pelantar juga merupakan kesempatan untuk mendiskusikan potensi peran standar ketenagakerjaan internasional dalam mengatasi tantangan dan peluang yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi.”
Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Rekso Silaban, Ketua Penasihat Internasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), memberikan tanggapan mereka tentang bagaimana pengusaha dan pekerja dapat memanfaatkan perubahan teknologi sebaik-baiknya, seperti kecerdasan buatan, untuk mengatasi tantangan pasar kerja dan memanfaatkan peluang untuk menjadi lebih produktif.
“Dialog sosial adalah kunci untuk penerapan strategi nasional mengenai kecerdasan buatan dan untuk memastikan keterlibatan pekerja dengan baik,” simpul Rekson; sedangkan Shinta menekankan pentingnya kesetaraan dan inklusivitas. “Infrastruktur kecerdasan buatan memainkan peran besar karena kecerdasan buatan harus dapat diakses oleh semua orang, termasuk perempuan dan kelompok marginal. Mendorong inklusivitas dan kesetaraan dapat menjadi salah satu upaya untuk mempersempit kesenjangan.”
Forum ini juga mendengarkan pandangan narasumber utama yang mewakili pemerintah dan sektor swasta. Prof Warsito, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Mutu Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, menyoroti pentingnya meningkatkan sumber daya manusia Indonesia dengan keterampilan relevan yang kompatibel dengan dunia kerja yang cepat berubah dan kemajuan teknologi yang akan tetap ada, seperti kecerdasan buatan.
Prof. Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, menekankan pentingnya tata kelola pasar kerja yang sejalan dengan pengembangan kebijakan ketenagakerjaan yang merupakan formula penting untuk memastikan keberlanjutan dunia usaha dan partisipasi angkatan kerja dalam pekerjaan yang layak.
Dari sudut pandang bisnis, Ajar Edi, Direktur Urusan Pemerintahan Microsoft Indonesia dan Brunei, menjelaskan prioritas Microsoft sebagai investor dan mitra pembangunan di Indonesia, dan kontribusinya terhadap pembangunan nasional Indonesia. Kurnia Sofia Rosyada, Kepala Grup Usaha Analisis Data Bank Mandiri, menggarisbawahi perlunya pemanfaatan digitalisasi untuk memperkuat daya saing usaha kecil dan menengah yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.