Capricorn
Pauline keluar dari kamar, kemudian menuruni anak tangga yang dilapisi papan jati berserat yang dipernis mengkilat. Detak hak sepatu angkle boot (sepatu boot semata kaki) menghentak pelan. Sementara gaun panjangnya tersingkap sedikit, untuk menggampangkan langkah kakinya menurunin tangga yang diukir anggun.
Di pertengahan anak tangga yang sedikit membelok, Pauline menghentikan langkahnya. Melihat ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Ada cahaya terang yang menyilaukan. Pauline mempertimbangkan sesuatu, kemudian melanjutkan menurunin anak tangga.
Sampai di dasar tangga yang nyaris berhadapan dengan pintu ke dapur yang bergaya Eropa kuno dan berdinding putih bersih. Pauline melongok sebentar ke dalam dapur. Matanya seakan mencari sesuatu, dapur sepi. Tidak ada siapa pun. Pauline meneruskan langkahnya, dan berhenti di bawah tangga yang dijadikan kamar kecil untuk menyimpan sepatu, payung, topi dan beberapa jaket. Pauline meraih payung kecil berwarna kuning, senada dengan gaunnya, rumbai pada pinggir payung memberi kesan manis dan feminim.
Pauline menatap keluar jendela bulat yang tertempel di pintu keluar di sisi belakang tangga. Kemudian menggelengkan kepala gelisah. Berseberangan pintu itu, sebuah cermin lonjong besar di bingkai kayu jati coklat tergantung kokoh. Sejenak Pauline mematut dirinya di depan cermin. Memastikan tatanan rambutnya yang di rol kemudian dibiarkan jatuh di pundaknya, tidak berubah. Warna blonde pada rambutnya terlihat serasi dengan warna kulitnya yang putih, dan coklat muda pada bola matanya.
Yakin dengan penampilannya, Pauline bergegas ke ruang tamu yang luas. Ada dua set kursi tamu terbuat dari kayu jati dan rotan yang dianyam elegant dan tertata asri dengan buffet yang juga dari jati. Paduan yang asri antara kayu jati dengan dinding batu kokoh yang di cat putih bersih.
Pauline melangkah tergesa ke pintu keluar tanpa memperhatikan kakak laki-lakinya dan ayahnya yang duduk diruangan itu. Tangan Pauline meraih handle pintu dan akan menariknya, ketika Kevin, kakaknya menegur.
” Jangan konyol Pauline. Situasi diluar tidak memungkin kamu pergi.” Ucap Kevin, membuat Pauline menghentikan niatnya membuka pintu depan. Josep, ayah mereka mendekati Pauline.
“Kevin benar, Pauline. Kau bisa terbunuh. Ayah tidak menginginkan peristiwa 2 tahun yang lalu terjadi lagi. Cukup Edward yang jadi korban.” Josep menarik tangan Pauline untuk ikut duduk bersamanya. Pauline mengikuti ayahnya. Ingatannya kembali ke masa 2 tahun yang lalu, ketika Edward nekad keluar rumah, sementara kondisi diluar rumah benar-benar lagi tidak baik untuk mereka. Matahari bersinar dengan teriknya disiang hari, dan pagi pekat dengan kabut pegunungan yang membekukan.
“Tapi ayah, aku harus ke bukit. Alex pasti sudah menunggu ku disana.” Pauline masih berkeras.
“Alex? Seharusnya kamu sudah tidak berhubungan dengan manusia itu?” pertanyaan Kevin membuat Pauline menunduk bersalah.
“Pauline, bukannya ayah sudah menegaskan ke kamu untuk menyudahi hubungan mu dengan Alex?” Josep bertanya tajam ke arah Pauline.
“Iya. Tapi ayah…..”
“Untuk hal ini ayah tidak ingin ada bantahan, Pauline. Hubungan mu dengan Alex tidak akan berhasil.” Josep bicara dengan nada keras.
“Kau bisa di habisi mereka, Pauline. Aku rasa cukup lah kita kehilangan Edward.” Kevin memperingatin Pauline.
“Alex tidak akan mencelakai aku. Aku tidak pernah bicarakan apa pun.” Pauline masih berkeras. Dia tau arah pembicaraan kakaknya itu.
“Belom aja. Kalau dia sudah….” Kevin keras dengan pendapatnya.
“Aku tidak setolol itu, Kevin. Aku tidak bicara apa pun ke Alex.” Pauline berteriak ke arah Kevin.
“Cukup! Kevin benar, kau harus mendengarkan kakakmu, Pauline. Jangan berlaku konyol dengan perasaanmu yang tidak ada ujungnya. Dan ayah tidak mau dengar lagi hubungan mu dengan Alex. Jelas!” Bentak Josep keras yang membuat Pauline terdiam sejenak. Dan berlari meninggalkan ruang tamu, menaiki tangga kembali dan menghilang di balik pintu kamarnya.
“Kau tidak perlu membentaknya sekaras itu, Josep.” Susan berdiri di ambang pintu dekat kaca besar. Rambut pirangnya di gulung rapi ke atas. Beberapa helai dibiarkan berjutai di sisi telinganya. Gaun ungunya mengembang disekelilingnya. Susan bergegas turun dari kamar ketika mendengar bentakan di ruang bawah. Berpapasan dengan Pauline yang berlinangan air mata di dasar tangga. Susan tau, ini pasti masalah hubungan putrinya itu dengan Alex.
“Tapi bukan baru ini dia kita peringatin, ibu.” Kevin menjawab dengan lembut sambil mendakati ibunya yang masih saja terlihat cantik. Menggandeng ibunya itu ke salah satu kursi.
“Kevin benar, Mijn Schat (kekasihku) (1). Barusan saja Pauline mau keluar menemui Alex. Aku tidak berani membayangkan apa yang terjadi, kalau tadi Pauline tidak sempat aku dan Kevin cegah keluar rumah.” Jelas Josep yang membuat Susan menarik nafas panjang. Putrinya lagi jatuh cinta, Susan sadar itu. Sayangnya tidak pada orang yang tepat. Sesaat Susan melirik keluar dari jendela, dan membayangkan apa yang terjadi dengan Pauline dengan matahari yang terik.
“Teh Jasmine, Ibu?” Kevin menawarkan teh ke sukaan mamanya. Teh dituangkan ke cangkir porselen indah dengan lukisan bunga biru dan ukiran pada gagangnya. Susan menyambutnya dengan senyum penuh sayang.
Matahari sudah condong ke barat, Brastagi mulai temaram. Penerangan jalan yang terbuat dari lampu minyak mulai dinyalakan oleh orang-orang pribumi yang di tugaskan pemerintah kolonial yang berkuasa di daerah itu. Lonceng gereja berdentang enam kali, jam 6 sore.
Disebuah villa di sisi sebuah bukit tertinggi di Berastagi yang menjadi tempat favorite para mijnheer (tuan) dan keluarganya berwisata, warga setempat menyebutnya bukit bangsawan. Viewnya indah, ke arah perkampungan Brastagi dengan latar belakang sang gunung kembar, Gunung Sibaya dan Sinabung, hutan yang membentang dan sawah serta perkebunan. Pauline memandangi dirinya di depan cermin besar di kamarnya. Cahaya terang siang tadi sudah menghilang, sekarang Pauline tidak lagi perlu menutup pintu dan horden kamarnya rapat-rapat.
Blouse yang membentuk tubuhnya berwarna krem dengan eksen sedikit mengembang di bagian panggulnya. Dengan lengan bajunya yang sepanjang siku ada eksen belahan yang di beri pita kecil dan kerah yang meninggi di lehernya. Sementara celana panjang berwarna coklat tua yang membalut tungkainya yang panjang, ada kain lebar yang dililitkan di pinggannya sebagai ikat pinggang. Sementara kakinya di balut sepatu berkuda berwarna sama dengan celana panjangnya. Rambutnya di ikat simple ke belakang. Pauline terlihat manis dalam pantulan cermin. Sesaat Pauline memulaskan pemerah pipi tipis-tipis. Menarik nafas, dan berbalik. Melangkah berlahan ke arah balkon.
Sejak pertama kali datang ke daerah ini dan menempati vila ini, Pauline selalu terpukau dengan pemandangan senja dari balkon kamarnya yang menghadap ke mulut gunung kembar, Sinabung dan Sibaya yang selalu memamerkan pijar merah diantara bayangan pepohonan disekitarnya. Sejuknya hawa pegunungan melegakan pernafasan dan seluruh aliran darah di tubuh Pauline yang seakan tertutup awan mendung siang tadi, saat pertengkaran dengan ayah dan kakaknya. Dia berbalik dan melangkah keluar kamar, menuju ke halaman villa. Dimana kudanya sudah disiapkan oleh petugas kuda.
Tergesa Alex memacu kuda hitamnya ke arah bukit tempat dia dan Pauline selalu bertemu. Siang tadi Alex menanti ke datangan Pauline. Tapi yang ditunggu tidak pernah datang, dan sekarang Alex menyimpan kecewa. Dia ingin menanyakan penyebab ketidak datangan Pauline siang tadi. Alex memacu kudanya sampai di depan gerbang villa putih khas bangunan Eropa. Mengingatkannya pada negeri yang menjadi tanah leluhurnya, Belanda. Yang sudah dia tinggalkan hampir lima tahun yang lalu. Mengikuti ke dua orang tuanya yang di perintahkan kerajaan untuk bertugas di tanah jajahan, Hindia Belanda. Negeri di garis khatulistiwa yang sangat indah, menurut Alex.
Alex menarik kekang, sehingga kuda yang ditungganginya memperlambat larinya. Pauline terlihat di atas kuda putih yang biasa di tungganginya, menunggu Alex di sebelah dalam dekat gerbang vila yang tertutup kabut. Vila itu terlihat mungil di halamannya yang luas dan dilengkapi kolam renang kecil yang airnya tak pernah bisa terlihat, karena tertutup kabut.
Senyum merekah di bibir Pauline melihat kedatangan Alex. Dan senyum itu selalu membuat Alex terpana dan lupa pada kekecewaannya.
“Kita ke bukit?” Pauline membuka pembicaraan saat Alex sudah dekat dengannya.
“Ya.” Alex menjawab mantap. Dan keduanya berkuda membelok, memutari bukit untuk menemukan jalan yang lebih mudah dilewati untuk sampai diatas bukit. Sejenak Alex melempar pandangannya ke arah vila yang masih saja di tutupi kabut. Membuat vila terlihat misterius.
Sebenarnya, setiap menjemput Pauline, untuk menghabiskan malam di atas bukit, Alex selalu penasaran akan vila bercat putih itu. Tidak pernah benar-benar terlihat, kecuali pahatan pada tembok bagian salah satu balkon, dan berwarna sama dengan semua tembok, CAPRICORN. Dan Alex tidak pernah berkesempatan masuk, walau hanya dihalaman vila. Pauline selalu sudah menantinya didepan gerbang vila.
“Ma’af Alex, siang tadi aku tidak bisa datang. Ayah menyuruh aku membantu Ibu menyiapkan hidangan buat keluarga yang baru datang dari Holland.” Pauline membuka pembicaraan. Alex duduk di sisi kanannya, menghadap lembah yang dasarnya terlihat kelap kelip cahaya penerangan rumah penduduk. Dan suasana ini selalu membuat Pauline merasa bintang-bintang berada dibawah kakinya. Alex memandang mesra Pauline, kesal dan kecewa yang dirasakannya tadi mendadak hilang.
“Iya. Ga papa, sayangku. ik begrijp (aku mengerti).” Alex menjawab dengan lembut.
“Dank u, mijn liefde (terimakasih, Cintaku). Matahari siang tadi benar-benar terik, Alex.” Pauline bicara datar.
“Aku ingin kamu melihat perkebunan buah di lembah sebelah sana.” Alex menunjuk sisi kanan bukit. Dari sisi itu hanya ada 3 sampai 4 kerlip penerangan rakyat. “Aku juga ingin kamu melihat sisi lain bukit ini. dat is zo geweldig, Mijn Schat (sangat menakjubkan, sayangku). Aku yakin, kamu pasti akan sangat menyukainya.”
“Ma’afkan aku, Alex. Lain kali aku pasti.” Pauline berjanji.
“Kenapa tidak besok pagi aja?” Alex mengejar.
“Besok? Aku tidak yakin. Kita cari waktu yang lain saja.” Alex menjawab dengan anggukan kecil, menahan kecewa.
################################
Alex memacu kudanya melewati jalan desa yang bersih dan rimbun. Pepohonan besar menjulang memagari jalan yang berlatar belakang beberapa rumah sederhana pribumi dan beberapa rumah besar bergaya Eropa. Beberapa tuan tanah terlihat berbicara serius dengan warga pribumi. Pakaian mereka terlihat sangat kontras. Tuan tanah yang berwajah Eropa dengan busana indah dan terlihat mewah yang menutupi sebagian kulit mereka yang putih, sementara pribumi berbusana sederhana dan kulit yang lebih gelap.
Perhatian mereka sedikit teralih saat Alex lewat dengan kuda coklatnya. Mendekati sebuah simpang empat, Alex menarik tali kekang, sehingga melambatkan laju kuda. Tiga orang wanita mengenakan gaun berwarna salem, biru dan pink, lengkap dengan asesoris dan payung kecil menghentikan langkah kaki mereka untuk sekedar menyapa ramah dan melempar senyum manis. Alex mengangguk sopan tanpa menghentikan kudanya.
“Alex benar-benar ganteng, tapi dingin.” Ucap gadis dengan gaun biru.
“Voor mij is hij mysterieus (bagiku dia miterius).” Gadis bergaun pink menimpali.
“Dia membuat Sofie menangis dan mengurung diri berhari-hari.” Ucap gadis berbaju salem yang membuat kedua temannya terperangah.
“Sofie? Gadis bungsu Meneer Bastian? Kenapa?” Gadis bergaun pink tak mampu menahan rasa ingin tahunya.
“Sofie akan di jodohkan dengan Alex oleh orang tua mereka. Alex langsung menolak tanpa memberi kesempatan untuk saling kenal. Padahal Sofie sudah langsung suka dengan Alex.” Gadis berbaju salem menjelaskan.
“Sofie gadis sangat cantik. Kalau yang secantik Sofie dia tolak, bagaimana yang seperti aku.” Gadis berbaju pink bicara sambil sedikit melamun. Dia jatuh hati pada Alex, sejak pertama kali pemuda itu datang ke kota kecil di kaki gunung Sibayak dan Sinabung itu, tiga tahun yang lalu.
“Isu yang aku dengar, Alex sudah punya kekasih.” Gadis berbaju biru berujar sambil melirik gadis berbaju pink.
“Die (siapa)?” Keduanya bertanya serentak.
“Aku ga tau pasti. Beberapa orang sering melihat Alex di bukit. Biasanya menjelang senja sampai tengah malam. Kadang terlihat bersama gadis itu, katanya gadis itu cantik banget. Dan juga sering Alex terlihat seperti bicara sendiri.” Gadis berbaju biru menghentikan penjelasannya, melihat mimik wajah teman-temannya, penasaran dan kecewa. Alex memang mempesona, ujar batinnya.
“Alex juga sering terlihat berkuda di dekat Villa Capricorn.” Gadis bergaun biru menambahkan penjelasannya.
“Villa Capricorn? Villa itu kosong sejak setahun yang lalu.” Ucap Gadis bergaun salem. “Ayahku bilang, sekitar tiga minggu lagi Sir Marteen dan keluarganya baru akan datang, dan menempati Villa itu sebagai Gubernur yang baru daerah ini.”
“Entah lah. Aku hanya menyampaikan apa yang aku dengar dari orang-orang.” Ucap Gadis berbaju biru.
“Sendirian kah dia berkuda di daerah itu? Villa itu terkesan tidak bersahabat.” Ucap Gadis bergaun pink.
“Terkadang terlihat bersama seorang gadis. Villa itu memang lebih sering ditutup kabut.” Jelas gadis berbaju biru.
“Iya lah. Villa itu tempatnya di kaki bukit, dataran paling tinggi di daerah sini.” Jawab gadis berbaju salem.
################################
Pauline merebahkan tubuhnya diatas kasur empuk. Pikirannya membayangkan pagi dua hari lagi dia akan berjalan bersama Alex. Hamparan hijau pertanian dan hutan pinus dibawah matahari pagi. Rasanya tidak sabar menunggu pagi dua minggu lagi. Alex menjanjikan pemandangan terindah, dan Pauline tau, alex tidak berbohong. Pauline teringat, betapa bahayanya bila dia keluar rumah di saat matahari bersinar terik. Semoga ada awan mendung yang menutupi matahari, biar ga terlalu menyengat. Ucapnya dalam hati.
“Pauline….kamu dimana?” Pauline terkejut mendengar suara Susan yang berteriak panik. Suaranya dari lantai bawah rumah. Sejenak kemudian ada derap sepatu menghentak anak tangga menuju keatas. Tidak lama kemudia, pintu kamar Pauline terbuka lebar. Wajah Susan terlihat panik.
“Ada apa, Ibu?” Pauline terperangah melihat wajah Susan yang terlihat benar-benar panik, padahal Susan adalah sosok wanita yang tenang.
“Kita harus sembunyi, Pauline. Paling tidak buat sementara.” Susan tidak lagi mampu menahan ketakutannya. Pauline berdiri dari posisi tidurnya.
“Ayah dan Kevin dimana, Ibu?”
“Josep tadi ada di istal. Kevin….tadi masih diruang depan.” Suara Susan terkalahkan dengan suara-suara yang terdengar berdentam berisik dari ruang bawah.
“Suara-suara apa itu, Ibu? Kuping ku terasa mau pecah.” Pauline mencoba mengeraskan suaranya, untuk mengimbangi suara-suara dari bawah. Susan mendekati Pauline, dan mendekapnya. Berharap bisa menenangkan putrinya, sementara Susan sendiri merasakan ketakutakan luar biasa.
“Ibu! Pauline! Dimana kalian!” Suara Kevin dari arah tangga terdengar panik.
“Kevin! Kamar Pauline!” Susan menjawab teriakan Kevin. Sejenak kemudian pintu kamar Pauline terbuka, dan tertutup dengan cepat. Kevin masuk dengan nafas terangah dan langsung menghampiri ibu dan adiknya yang berdiri di pojok kamar sambil berpelukan ketakutan.
“Apa yang terjadi, Kevin? Ayah dimana?” Pauline mendului Susan bertanya.
“Ibu, kita tidak bisa lagi menghalau manusia-manusia itu. Mereka terlalu kuat. Terakhir aku mendengar teriakan suara ayah dari istal. Setelah itu aku tak lagi mendengar suara Ayah, Ibu. Dari jendela dapur aku melihat asap hitam dari arah istal. Aku cemas itu Ayah….” Kevin menjelaskan dengan menahan isak. Susan dan Pauline tak mampu menahan rasa sedihnya.
“Ayah….” Pauline melepaskan sedihnya dengan teriakan yang langsung membuat Kevin mendekap mulutnya.
“Kamu mau memancing manusia-manusia itu masuk kesini?” Kevin membentak Pauline, suaranya terdengar jelas rasa cemasnya.
“Apa yang harus kita lakukan, Kevin?” Tanya Susan.
“Tidak ada lagi tempat buat kita sembunyi di rumah ini, Ibu.” Kevin menjawab.
“Ruang penyimpanan bawah tangga?” Pauline mengusulkan.
“Kita coba kesana.” Kevin memutuskan setelah beberapa saat mempertimbangkan. Kevin melihat air mata yang mengalir dimata ibunya. Dan mengusapnya dengan lembut. “Kita harus kuat, ibu.” Susan menjawab dengan anggukan lemah dan tidak yakin.
Sambil berpegangan tangan, bertiga mereka melintas menuju pintu kamar. Berlahan Kevin mendekat serta membuka pintu kamar. Seberkas cahaya yang sangat terang menerobos masuk kamar. Susan, Pauline dan Kevin teriak dan kembali mundur, pintu kamar terhempas keras.
Beberapa menit kemudian terdengar suara-suara kaki yang berlari di anak tangga. Suaranya terdengar semangkin jelas. Disusul suara-suara manusia yang bicara. Ada yang berbisik, ada yang berteriak.
“Aku juga mendengar teriakan dan pintu dibanting dari atas.”
“Aku juga. Keras sekali suara bantingan pintu tadi.”
“Kita periksa semua kamar. Buka semua pintu dan jendela.” Sebuah suara yang terdengar tegas memberi perintah. “Begitu pintu dan jendela kamar terbuka, kalian langsung bersihkan.”
Dipojokan kamar yang terlindung dari cahaya matahari Pauline, Kevin dan Susan saling berangkulan, pemandangan dari balkon kamar yang biasanya menjadi hal yang sangat disukai Pauline, saat ini menjadi hal yang menakutkan. Sementara suara-suara itu semangkin mendekat. Dan ketika pintu kamar yang dicet putih itu dibuka dengan cara di tendang dengan keras dari luar, cahaya sangat terang masuk ke dalam.
“Akh………” Pauline, Kevin dan Susan berteriak keras dan menghilang. Kamar itu dimasuki cahaya yang juga berasal dari jendela dan pintu yang dibuka besar-besar, horden pun disingkap. Suasana kamar Pauline menjadi terang benderang. Udara segar memasuki setiap sudut ruang kamar.
Satu jam kemudian, orang-orang keluar dari vila yang sekarang terlihat jelas. Anggun dan indah. Setiap orang yang keluar dari vila terlihat letih namun lega. Terutama Mijnheer (tuan) Schott, ayah Alex. Rasa puas dan lega tergambar jelas diwajahnya.
“Tidak ada lagi perempuan tidak nyata yang menggoda Alex.” Ucapnya samar sambil meninggalkan Vila Capricorn dengan kuda hitamnya.
################################
Matahari baru saja muncul dari peraduannya. Udara masih sangat sejuk, embun masih mencumbu rerumputan dan ujung dedaunan di punggung bukit. Berastagi seakan menggeliat bangun dari tidurnya malam tadi. Alex memacu kudanya ke arah Vila Capricorn, dan terpana memandang indahnya taman vila yang selama ini selalu di tutupi kabut. Alex mendengar semua yang terjadi di vila kemaren siang, ayahnya membersihkan Vila Capricorn. Alex tidak percaya dengan cerita orang-orang tentang suara dan asap misterius dari kamar di vila.
Alex menemukan tulisan pada dinding kamar Pauline: “Selamat Tinggal Alex, aku mencintai mu.” Dengan langkah lesu dan tidak mengerti, Alex meninggalkan Vila Capricorn. Dan terus menjauh. Dari kejauhan, terlihat sesosok wanita bergaun dan topi kuning memperhatikan kepergian Alex. Wanita itu melambaikan tangan tanpa terlihat Alex, dari matanya mengalir bulir air mata. Sejenak kemudian wanita itu menghilang dan meninggalkan gema pada udara yang membuat Alex melihat kembali ke arah vila, sepi. Dan Alex benar-benar pergi. “Aku mencintaimu, Alex.”
##########################
Copyright
Amanda Nasution