x
News

Membebaskan Anak Rohingya dari Cengkeraman Trauma

  • PublishedJanuary 11, 2022

 Di tahun 2014, Yasmine yang pada saat itu masih berusia 15 tahun naik kapal meninggalkan Myanmar, meninggalkan kedua orang tuanya dan saudaranya.  Masih ingat betul saat dia menempuh perjalanan dengan kapal meninggalkan Myanmar tanpa pendamping keluarga terdekatnya.

“(Semuanya) sangat susah. Makan dikasih segini (menunjukkan ujung jari tengah, telunjuk dan jari manisnya). Tidak bisa berdiri, kami hanya duduk. Saat itu ada  400 orang didalam kapal, tidak ada kamar-kamar,” kata Yasmine mengenang.

BBC doc

Yasmine berada di atas kapal selama enam bulan. Ruang geraknya terbatas  dan hanya mendapat air minum yang dijatahkan. Dia melihat sendiri tidak sedikit dari para pengungsi yang ada dikapal mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan anak buah kapal (ABK).  Bentakan, kata-kata kasar bahkan kekerasan fisik berupa pukulan beberapa kali terjadi di depan mata Yasmine, bahkan Yasmine beberapa kali mendapatkan bentakan hanya karena kelamaan di kamar mandi kecil yang berada di belakang kapal, atau saat meminta makanan lebih.

Kini Yasmine sudah tujuh tahun tinggal di Indonesia. Dia sudah menikah dengan Ahmed, sesama pengungsi, dan punya 2 anak. Pastinya dia tidak punya niat lagi untuk kembali ke Myanmar meskipun menurut pengakuannya orang tua dan keluarganya masih berada disana.

“Tidak bisa kembali, bisa dibunuh disana,” begitu ucap Yasmine memberikan alasannya.

Yasmine, yang saat ini berstatus Refugee berharap dia bisa menjadi diterima menjadi warga negara Amerika Serikat (AS).  Dia ingin membesarkan anak-anaknya di sana.

Yasmine adalah satu dari warga etnis Rohingya yang kebetulan terdampar di Indonesia sejak masih berusia 15 tahun.

Saat ini etnis Rohingya dijuluki Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai kelompok minoritas yang paling teraniaya. Konflik berkepanjangan antara etnis Rohingya dengan otoritas Myanmar telah menyebabkan banyak warga Rohingya yang menjadi korban.

Menurut laporan dari lembaga yang berbasis di Kanada, Ontario International Development Agency, sejak 25 Agustus 2017 hingga pertengahan 2021, hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan negara Myanmar, lebih dari 34 ribu orang dilempar ke dalam api, lebih dari 114 ribu lainnya dipukuli, sebanyak 18 ribu wanita dan gadis diperkosa dan setidaknya 115 ribu rumah dibakar.

Konflik berkepanjangan antara etnis Rohingya dengan penguasa Myanmar telah menyebabkan kelompok ini harus menyelamatkan diri dan meninggalkan Myanmar. Mereka mencari tempat atau negara yang lebih aman untuk di tinggali.

Mereka berangkat dengan kapal berdesak-desakan, dan terdampar sering di tempat yang jauh dari tujuan. Indonesia misalnya.

Kelompok Rohingya di Indonesia diurus oleh beberapa Lembaga kemanusiaan, diantaranya Lembaga pengungsi PBB (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM).

Dari website UNHCR disebutkan, kalau Lembaga ini menyediakan kebutuhan dasar bagi pencari suaka dan pengungsi, termasuk bantuan mental, konseling, pendidikan, dan pelatihan dalam berbagai bahasa, dan hal-hal teknis lainnya.

Bantuan dan dukungan bagi orang yang menjadi perhatian UNHCR juga diberikan melalui mitra operasional UNHCR, yaitu IOM. Kemitraan ini memenuhi kebutuhan pencari suaka dan pengungsi selama mereka tinggal di Indonesia menunggu identifikasi solusi jangka panjang. IOM juga membiayai perjalanan bagi orang yang menjadi perhatian UNHCR ketika mereka menjalani proses penempatan di negara ketiga dan mereka yang mendaftar pemulangan sukarela.

Masyarakat Rohingya ini sudah pasti mengalami trauma, bukan hanya saat masih di Myanmar, tapi juga saat berada diperjalanan di dalam kapal yang mereka tumpangi untuk sampai di negara-negara yang menjadi tujuan para pengungsi. Apalagi para pengungsi ini membawa serta anak-anak yang juga mengalami banyak pengalaman traumatik.

Seto Mulyadi, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, mengatakan kalau dalam konflik, anak-anak sering menjadi korban. Tak heran ada konvensi PBB yan g melindungi hak anak.

“Bahwa setiap anak harus terlindungi haknya untuk dapat tumbuh sehat, bersekolah, dilindungi, didengar pendapatnya dan diperlakukan dengan adil,” ungkap Seto Mulyadi, yang akrab disapa Kak Seto dalam wawancara melalui jaringan telepon baru-baru ini.

Anak Pengungsi Rohingya

Agustia -Geutanyoe Malaysia

Menurut Kak Seto sangat penting mengembalikan kepercayaan diri dan kegembiraan pada anak agar anak bisa terlepas dari trauma yang mereka alami. Hal ini berlaku juga untuk anak-anak pengungsi Rohingya yang mengalami pengalaman traumatis.

Caranya?

“Melakukan pendekatan, mengajak bermain, memberikan ruang pada anak untuk melepaskan emosinya, mengekspresikan apa yang dirasakan menjadi salah satu cara agar anak bisa kembali tumbuh selayaknya anak-anak,” ungkap Kak Seto.

Dari data yang diperoleh dari sebuah lembaga nirlaba yang konsen terhadap isu kemanusian, Geutanyoe Malaysia, pada Juni 2021 ada 481 pengungsi Rohingya yang sampai di Utara Aceh.

Diantara para pengungsi terdapat wanita dan anak-anak. Berikut datanya :

Perempuan Laki-laki Anak-anak Total
Boat 1, Juni 2020Desa Lancok. Aceh Utara 49 15 30 94
Boat 2, September 2020Pantai Ujongblang, Lhokseumawe 181 102 14 297
Boat 3, Juni 2021Aceh Timur 59 22 11 59

Pendamping pengungsi Rohingya dari Guetanyoe Malaysia, Agustia mengatakan para pengungsi tiba dalam kondisi kelaparan dan kesulitan berjalan, karena selama 4 bulan berada di lautan dalam posisi duduk yang tidak bergerak.

“Pertolongan pertama yang diberikan kepada para pengungsi adalah makanan, mengingat selama berbulan-bulan diatas kapal mereka mendapat makan dan minum sedikit sekali,” kata Agustia sambil menambahkan bahwa dibutuhkan waktu buat para pengungsi supaya bisa makan normal.

Selain itu para pendatang juga dipisah-pisah sesuai dengan kondisi kesehatannya. Setelah ditempatkan di pengungsian, baru di lakukan berbagai terapi buat mengembalikan kondisi fisik dan pisikis pengungsi yang mengalami trauma berat, termasuk anak-anak.

“Banyak yang mengalami kekerasan, termasuk anak-anak. Yang di kapal ke-2 ada sepasang kakak adik yang orang tuanya meninggal dan jasadnya dibuang ke laut,” ungkap Agustia.

Menurut dia setelah melihat kejadian itu kedua anak ini cenderung menyendiri saat diajak main.

Selain menyendiri, anak-anak Rohingya yang terdampar mengalami gejala trauma yang cukup beragam, Misalnya takut pada orang, tidak mau berinteraksi, mengeluh sakit, tantrum, suka merebut makanan minuman atau barang-barang logistik, suka mengambil barang petugas tanpa izin, suka menyakiti hewan di area kamp, suka merusak barang-barang yang diberi, berbohong.

“Ada juga yang takut sama orang yang pegang kayu atau senjata,” kata Agustia.

Menyembuhkan Trauma

“Penyembuhan trauma membutuhkan waktu yang berbeda untuk setiap orangnya dan tidak bisa disamaratakan. Meski sama namun penerimaan setiap orang berbeda,” ungap Agustia saat ditanyakan waktu yang dibutuhkan untuk para pengungsi bisa sembuh dari traumanya.

Begitu juga yang terjadi dengan para pengungsi Rohingya. Ternyata pengungsi berusia anak lebih mudah dilakukan pendekatan dan kembali ceria seperti biasanya.

Ketua PMI Kota Lhoseumawe Muhammad Waly, yang pernah diwawancara media mengatakan “pihaknya mengerahkan sejumlah relawannya untuk menghibur anak-anak imigran Rohingya tersebut. Meskipun untuk menghilangkan trauma tersebut tidak bisa instan, tetapi minimal bisa diringankan. Apalagi anak merupakan usia bermain, sehingga perlu dilakukan secara berkesinambungan.

Dengan pendampingan tersebut, anak-anak tersebut sudah mulai kembali bisa tersenyum walaupun terlihat masih ada rasa trauma. Program yang dilakukannya tersebut disesuaikan dengan kondisi mereka, apalagi keterbatasan dalam bahasa.

Sementara Aksi Cepat Tanggap (ACT) Lhokseumawe bersama Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) memberi pendampingan trauma healing melalui psychosocial support program (PSP) buat anak-anak pengungsi Rohingya di bekas Kantor Imigrasi Desa Punteuet, Blang Mangat, Kota Lhokseumawe. Ini dilakukan untuk menghilangkan rasa trauma karena mereka cukup lama di lautan lepas.

Kepala Cabang ACT Lhokseumawe, Thariq Farline yang dikutip Detik.com mengatakan pendampingan psikososial merupakan salah satu solusi untuk mengantisipasi sindrom pascatrauma di kalangan anak-anak. Metode ini juga tepat untuk pengungsi anak Rohingya untuk menyembuhkan psikologis mereka setelah terhempas di tengah lautan yang ganas. Ada cukup banyak anak yang ikut dalam rombongan ini, sehingga perlu adanya edukasi. Selain itu tempat pengungsian dibuat lebih nyaman, dan anak-anak Rohingya cepat dekat pendampingnya, terkendala bahasa.

Melakukan kegiatan-kegitan yang diminati anak-anak, seperti menari, menggambar dan lainnya menjadi cara pendekatan, menghibur sekaligus bagian dari trauma healing.

Lebih lanjut ACT Lhokseumawe dan  MRI melakukan kegiatan berupa mengajarkan shalawat, asmaul husna secara bersamaan, dan membacakkan surat Al-Fatihah.

“Karena sebagian pengungsi adalah usia sekolah, maka kita wajib memberikan mereka edukasi yang cukup, termasuk ilmu agama,” ungkap Thariq Farline.

Menemukan minat dan bakat anak menjadi salah satu cara efektif untuk bisa lebih dekat, dan mengalihkan perhatian si anak dari semua pristiwa pahit yang pernah mereka lalui sepanjang perjalanan yang harus mereka tempuh untuk menemukan tempat aman untuk tinggal dan mengukir masa depan.

Trauma healing merupakan salah satu solusi yang tepat untuk mengantisipasi post-traumatic syndrome disorder di kalangan anak-anak. Dan trauma healing merupakan metode yang tepat untuk memulihkan psikologis pasca terhempas di lautan yang ganas.

“Harapannya mereka dapat ceria dan kembali ceria seperti anak-anak yang lainnya,” sambung Thariq.

Fakta bahwa kelompok rentan yang terdiri dari wanita, pria dan anak-anak tetap menempuh perjalanan beresiko tinggi di Teluk Benggala dan Laut Andaman, menunjukkan betapa pentingnya bagi negara-negara untuk berkerja sama demi mencapai solusi regional dalam mengatasi perpindahan maritim yang tidak teratur.

Untuk itu UNHCR menekankan himbauannya terhadap negara-negara di kawasan ini untuk bersatu padu dalam basis prinsip solidaritas dan pemerataan tanggung jawab dalam mengatasi
masalah terkait perlindungan dan kebutuhan kemanusiaan pengungsi dan pencari suaka di laut.

Sejalan dengan Konvensi PBB berkaitan dengan hak anak pasal 19 yang mengatakan “Tiap anak berhak mendapat pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan, dan pengabaian.” Kemudian di pasal 22, “Tiap anak yang datang sebagai pengungsi ke suatu negara berhak mendapatkan perlindungan dan dukungan khusus serta semua hak yang sama dengan hak yang dimiliki anak-anak yang lahir di negara itu.” Sehingga memberikan perhatian kepada anak-anak pengungsi Rohingya adalah kewajiban dan bukan sekedar atas nama kemanusiaan.

Written By
indonesianjournal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!