Menuju Netralitas Karbon pada 2060, Indonesia Pangkas Emisi dan Beban Pajak Karbon Lebih dari 20%
Wärtsilä mengungkap bahwa sistem energi terbarukan, yang didukung oleh mesin penyeimbang jaringan listrik dan penyimpanan energi, dapat memungkinkan Indonesia mencapai netralitas karbon pada tahun 2060. Potensi ini akan memangkas biaya listrik rata-rata (LCOE) lebih dari 20% saat menghitung potensi pajak karbon di masa depan.
Dengan kebutuhan listrik Indonesia yang naik 4% per tahun, pemodelan sistem energi dari Wärtsilä menunjukkan bahwa sistem energi terbarukan (yang didukung kapasitas fleksibel) dapat menjawab tantangan tersebut tanpa menambah biaya produksi listrik. Secara khusus, ketika menghitung perkiraan nilai ekonomi karbon (carbon pricing) dari Badan Energi Internasional (IEA)[1], studi terkait menunjukkan biaya listrik rata-rata dalam skenario ‘Netralitas Karbon’ lebih rendah 23% dibanding skenario ‘Business As Usual’ dari pemodelan yang tidak membatasi emisi.
Secara keseluruhan, Wärtsilä menyusun empat skenario terhadap transisi energi di Indonesia pada tahun 2060. Pertama, skenario ‘Business As Usual’ yang tidak memiliki batasan emisi. Di sini, Pulau Sulawesi akan melepaskan 12,5 juta ton emisi CO2 pada tahun 2060 yang membuat target netralitas karbon semakin sulit dicapai. Selanjutnya, ada skenario ‘Pengurangan Emisi 50%’ dan ‘Pengurangan Emisi 80%’ yang mampu mencapai pengurangan emisi masing-masing sebesar 50% dan 80% pada tahun 2060 jika dibandingkan dengan skenario ‘Business As Usual’. Adapun yang terakhir adalah skenario ‘Netralitas Karbon’, yakni sistem energi yang diproyeksikan beroperasi dengan netralitas karbon pada tahun 2060.
Indonesia berencana memulai produksi hidrogen hijau pada tahun 2031, dengan target kapasitas electrolyzer (mesin elektrolisis) sebesar 52 GW pada tahun 2060. Dalam pemodelan sistem energi terbarukan tingkat tinggi, Pulau Sulawesi akan mendapati kondisi kelebihan daya yang sesuai untuk produksi bahan bakar berkelanjutan, seperti hidrogen hijau. Dalam skenario ‘Netralitas Karbon’, melalui pembangunan pembangkit tenaga surya sebesar 28,53 GW, Pulau Sulawesi dapat menghasilkan 2,7 GW hidrogen hijau pada tahun 2060. Hasil tersebut akan digunakan secara optimal sebagai bahan bakar mesin penyeimbang jaringan listrik mulai tahun 2045 dan seterusnya. Selain penggunaannya di sektor ketenagalistrikan, bahan bakar berbasis hidrogen juga dapat membantu dekarbonisasi pada sektor padat energi lainnya di Indonesia, salah satunya transportasi.
Febron Siregar, Direktur Sales, Indonesia, Wärtsilä Energy, mengatakan:
“Hasil studi terkait jelas menunjukkan bahwa peluang mengubah kehidupan sebuah generasi dapat diraih oleh para pemangku kepentingan di sektor energi. Di Indonesia, energi terbarukan dapat ditingkatkan dengan menggunakan kapasitas fleksibel untuk mengatasi beban saat ini, sekaligus mudah memenuhi permintaan daya listrik yang meningkat, serta dekarbonisasi dengan biaya terendah.
Lebih lanjut Febro Siregar mengungkapkan, menciptakan sistem energi yang terbarukan dan terukur, Indonesia dapat menghadapi era kenormalan baru (new normal) terkait volatilitas bahan bakar fosil dan kendala emisi, sekaligus menciptakan pertumbuhan [ekonomi], lapangan kerja, dan kesejahteraan di masa depan.
“Dengan beralih ke sistem energi terbarukan yang fleksibel pada tahun 2060, Indonesia dapat melakukan lebih dari sekadar mengurangi emisi. Ini dapat mengubah sektor energi sehingga bisa melayani ribuan pulau dengan lebih baik sambil memastikan bahwa setiap orang memiliki akses ke listrik yang ramah lingkungan dan andal. Namun, para pemangku kepentingan perlu merencanakan perubahan transformatif dalam lima hingga delapan tahun ke depan atau peluang akan tertutup.”
Hasil studi yang diterbitkan dalam laporan bertajuk Meninjau Ulang Energi di Asia Tenggara, menyimulasikan langkah-langkah menuju netralitas karbon di tiga sistem energi utama Asia Tenggara, yakni Vietnam, Pulau Sulawesi di Indonesia, dan Pulau Luzon di Filipina.
[1]IEA: World Energy Outlook (2021). https://iea.blob.core.windows.net/assets/4ed140c1-c3f3-4fd9-acae-789a4e14a23c/WorldEnergyOutlook2021.pdf