Nonton Teater di Salihara: Simbol Kemanusiaan yang Bisa Mati dalam Lakon ADUH
Naskah ADUH karya Putu Wijaya dipentaskan pertama kali tahun 1974. Rasa jujur yang terkandung dalam cerita naskah ini berhasil membahas isu-isu humanisme yang kompleks. Sederhana memang, tapi beranjak dari naskah ini kita bisa selami interaksi antar manusia dan intervensi atas sesuatu yang telah hidup dan bakal mati. Dengan bahasa dialog yang membumi, ADUH jadi refleksi atas kepekaan penonton terhadap hal-hal disekitarnya.
Pada 12 Mei 2024, sebagai penikmat seni pertunjukan pewarta datang ke Salihara untuk nonton kembali pementasan ADUH yang ditampilkan Teater Mandiri. Pementasan yang disutradarai langsung oleh penulis naskahnya ini menjadi bentuk selebrasi terhadap ADUH yang kerap dibawakan banyak kelompok teater di Indonesia sampai sekarang. Berarti sudah setengah abad, ADUH mengisi panggung-panggung dengan dialog sederhana dan tingkah yang absurd.
ADUH bercerita tentang tokoh tanpa nama yang mengaduh kesakitan di tengah kesibukan orang-orang yang sedang bekerja. Tiba-tiba, mereka hentikan aktivitasnya tatkala si ADUH masuk ke arena panggung. Orang-orang mulai sibuk berdebat, apa perlu memberi pertolongan tanpa pernah mengenal orang yang sedang sakit dan akhirnya mati. Mereka mulai panik saat ADUH sudah menjadi mayat dan mereka harus bersusah payah membuang mayat ADUH sambil menyalahkan satu sama lain. Meski ada beberapa individu diantara mereka yang berupaya menaruh simpati.
Berdurasi dua jam, ADUH mengajak penonton untuk resapi sifat yang ada dalam diri dan seperti apa individu bebaskan cara berpikir dalam menanggapi sesuatu. Bila dilihat ADUH menunjukkan eksistensialisme terhadap individu yang merasa cemas untuk menentukan keputusan atau pilihan yang diambil saat kondisi penuh dengan ketidakpastian. Setengah abad ADUH masih menyisakan pertanyaan, bukankah diantara kita masih ada orang-orang yang sibuk omon-omon saja tanpa mau bertindak hingga keadaan jadi makin mematikan?!
Sebagai karya seni yang masih dekat dengan kondisi nyata hari ini, ADUH masih memandang segala hal yang belum bisa dipastikan kebenarannya. Hal ini terlihat pada dialog yang terlontar:
Seseorang : Wah, tambah payah kelihatannya!
Orang lainnya : tubuh sehat begini, tegap begini!
Kata seorang : iya, ya sehat begitu kok bisa sakit?
Seseorang : kulitnya kok tidak pucat seperti orang sakit?
Coba perhatikan. Ya! Lihat, nah, ya?
Hah seperti dibuat-buat!
Ini orang yang dulu apa?!
Dari percakapan yang dilakukan sekelompok orang tersebut penonton dapat impresi bahwa ADUH masih gaungkan kesakitan yang diderita tanpa ada pertolongan dari sekelompok orang disekitarnya. Dengan gamblang, kata ‘ADUH’ yang sering dilontarkan dalam pentas ini menarasikan jeritan hati atau perasaan manusia itu sendiri. Sementara yang lainnya belum mencapai kata ‘sepakat’ untuk menolong orang yang tak dikenal atau tanpa identitas sekalipun.
Penceritaan ADUH berakhir pada kisah yang terus mengulang adegan pembuka dari pementasannya. Para aktor dan aktris yang berperan dalam lakon ADUH terlihat begitu lepas dan melebur pada layar hitam serta putih yang selalu ikonik sebagai unsur artistik grup teater ini. Adegan awal dan akhir pementasan nyaris membuatku selalu puas nonton pertunjukan dari Teater Mandiri.
Dialog sederhana yang buka intrepretasi terhadap penokohan didalamnya membuat ADUH terus diperdebatkan antara sesuatu yang masih hidup dan mati. Teror mental dari Putu Wijaya mampu memunculkan gaya pertunjukan maupun konsep artistik yang baru. Setelah 50 tahun berlalu, ADUH tetap akan memberi kesan terhadap pewarta karena ini jadi naskah teater pertama yang diriku kenal dan pelajari sejak SMA.